Senin, 22 Desember 2014

Siapakah dia?



Sejuk gemericik air di padang gersang
Basah terasa aliri pipa yang kering
Hangat sentuhannya damai terasa
Menyertai langkah kita di sepanjang hayatnya

Kasih sayangnya sehangat mentari pagi
Belaian tangannya selembut angin sutra
Senyum manisnya hiburkan hati nan duka
Pandang matanya tajamkan hati nan suci

Ia adalah tawa disaat susah
Senyum di waktu sedih
Harapan di saat kecewa
Ramai di saat sepi
Cair di tengah kekakuan
Canda di tengah ketegangan

Cubitan kecil
Timangan sayang
Suapan hangat
Usapan lembut
Tepukan di pantat
Dan pandangan bahagianya melihat kelucuan kita

Luar biasa...
Semua adalah tiupan lembut nafas cinta
Tiupan yang mengantarkan kita ke gerbang kedewasaan
Meninggalkan rangkakan masa kanak
Berlari menuju kedewasaan

Ia adalah nafas yang lembut
Yang memekarkan kuncup menjadi bunga

Tapi kadang, kita sendiri
Adalah tangis di suatu kala untuknya
Yang sebenarnya tak pernah kita inginkan

Allah telah mewasiatkan orang tua kepada kita
Bukan untuk dibayar segala jasanya dengan harga
Memang siapa kita?
Sehingga bisa menghitungnya?
Dan siapa pula kita?
Sehingga mengaku-aku bisa mengganti semuanya?
Bukan itu!
Tidak akan pernah!

Ada harga lain yang mungkin tidak akan cukup
Tapi ia adalah nilai yang melampaui harga
kelima huruf penyusunnya: CINTA.






Jumat, 07 Maret 2014

Special Names


Bismillaahirrahmanirrahiim...

Pagi tadi, menjadi terasa spesial saat aku dan Bapak duduk di ruangan itu. Kami menikmati Sabtu pagi berdua. Moment yang bisa dibilang langka selama aku menjadi mahasiswa. Karena biasanya Sabtu-Ahad adalah hari yang justru penuh dengan jadwal keluar. Dulu, sering sekali diskusi dengan Bapak, apalagi ketika malam hari. Diskusi kami bisa sampai larut malam bahkan. Namun kini, setiap ada kesempatan berdiskusi dengan Bapak, menjadi terasa istimewa. Mengingat Bapak juga makin sibuk dengan aktivitas kantornya. 

Kami duduk dan berdiskusi ditemani segelas susu jahe hangat. Terkadang Bapak-lah yang justru membuatnya lebih dulu, untuk beliau minum, kemudian disisakan untukku. Hehe... Bapak terlalu baik, seharusnya Nisa yang membuatkannya untuk Bapak. Saat itu kami mendiskusikan banyak hal, mulai dari pertanyaan seputar agama, pemilu, kondisi masyarakat saat ini dan lain-lain. Terkadang pendapatku berbeda dengan Bapak, tapi juga banyak yang sepemikiran. Dan sesekali Bapak membuatkku kagum dengan pemikirannya yang luarbiasa bijaksana. Bersyukur memiliki Bapak, ingin kelak punya suami seperti Bapak yang sabar, kreatif, suka membaca, bijaksana, dan taat.

Setelah lama berbincang,tiba-tiba terlihas satu pertanyaan yang sangat ingin kutanyakan. Lalu akhirnya kuberanikan bertanya hal itu padanya.Yang dalam bahasa Indonesia intinya seperti ini "Maaf Pak, dulu kenapa Bapak memberiku nama Anisa Fatimah?" Setelah kutanya padanya, beliau terdiam sejenak. Kemudian beliau menjawab, dan ternyata sungguh tulus doa yang ia berikan padaku.

Inti dari jawaban beliau begini, "Harapannya Allah membinamu dengan ilmu dan pengetahuan. Menjadi wanita yang terpisah dari segala jenis keburukan dan kekotoran. Dan supaya Allah memisahkan api neraka darimu dan dari para pecintamu. Bapak ingin kau menjad seperti Fatimah az-Zahra putri Rasulullah."

Aku menangis dalam hati. Aamiin, batinku.. Terharu dengan perkataan yang disampaikan Bapak. Masya Allah, sungguh tinggi sekali harapan Bapak terhadapku. Sedangkan, jika melihat kondisiku saat ini, aku merasa sangat jauh dari yang beliau inginkan. Ya Allah, Engkau satu-satunya tempatku meminta dan bergantung. Bimbing hamba mewujudkan harapan Bapak. Semoga apa yang ku usahakan saat ini Engkau ridho-i ya Allah.. Amiin..

Bapak, aku mencintaimu karena Allah... Jazakallahu khairan katsir. Terimakasih atas kerja kerasmu beserta Ibu membimbing dan merawatku hingga saat ini. Jasa Bapak-Ibu takkan pernah terbalas, sungguh sampai kapanpun takkan terbalas. Kami hanya mampu menghormati dan memuliakanmu selama kami hidup didunia ini. Semoga engkau sehat selalu dan berada dalam berlindungan dan kasih sayangNya. Barakallahufika... Aamiin...

#LoveAbi
#LoveUmmi
#LoveAllCozAllah


Kamis, 06 Maret 2014

Bahaya Televisi


Di bangku kuliah, kita biasa mendengar ada istilah “guru besar” alias professor. Pada hari ini, di dunia almamater muncul “guru besar” yang jauh lebih hebat pengaruhnya dibandingkan pak Prof. Siapakah dia? Jawabnya, itulah barang malang yang disebut dengan “televisi”. Kehebatannya dalam mempengaruhi orang tidak perlu diragukan lagi. Mulai balita, anak kecil, ABG, orang dewasa, dan lansia, baik laki-laki, maupun perempuan dari kalangan orang rakyat jelata sampai professor; semuanya “bertekuk lutut” di hadapan TV. Semua terpukau dan silau dengan gemerlapnya tayangan televisi, seakan-akan tak ada cacat, aib, dan  kesalahannya. Tapi, bagi orang yang memiliki sedikit ilmu din (agama) akan tahu tentang bahaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh televisi di dunia dan akhirat.  Tayangan Televisi telah melatih para pemuda untuk berbuat kekerasan melalaui berbagai adegan yang ditampilkan kepada mereka dalam bentuk film-film tentang kriminal, karate, pertandingan tinju, dan lain sebagainya. Pengaruh buruknya bisa kita lihat dalam kehidupan anak-anak muda yang senang melakukan tawuran dan aksi kekerasan. Ini disebabkan karena mereka terobsesi dengan tayangan-tayangan di TV yang merusak akhlak  mereka. Waktu mereka untuk belajar sangat sempit, digeser oleh berbagai jenis hiburan dan tayangan acara televisi yang menghabiskan waktu dengan materi yang tidak mendidik. Parahnya lagi, kurangnya jam pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Itu pun kalau guru agamanya hadir. Terkadang guru agamanya hadir, tapi para remaja sangat sedikit mendapatkan bimbingan-bimbingan rohani. Padahal bimbingan rohanilah yang dapat menyejukkan hati meraka yang merupakan pengontrol dari perbuatan-perbuatan mereka.
Disamping itu, keluarga sebagai lembaga nonformal yang pertama dan yang paling utama,  kini cenderung sepi. Kedua orang tua berkerja dan anak dibiarkan menentukan pendidikan dan panutannya sendiri; atau mungkin ibu ada di rumah, namun ia tidak menerapkan pendidikan akhlak di keluarga, bahkan secara tidak langsung anak disuruh menyesuaikan diri dengan dunia modern yang penuh kebebasan. Mereka  disediakan kamar sendiri dengan seperangkat video game, televisi dan computer yang memungkinkan anak menemukan celah-celah buruk dari media tersebut berupa sex, horor, kekerasan dan penghamburan waktu, tanpa kontrol dari orang tua. Oleh karena itu, pada akhir-akhir ini kita sering mendengar berita-berita kriminal, seperti pembunuhan, pencurian, pemerkosaan dan lainnya. Kesemuanya ini adalah perkara-perkara yang dilarang oleh Allah -Azza wa Jalla-. Mereka mempelajari kejahatan-kejahatan ini melalui film dan tayangan televisi.
Allah –’Azza wa Jalla-  berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal di dalamnya  dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya, serta menyediakan  siksaan yang besar baginya” . (QS. An-Nisa`: 93)
Seorang mufassir, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata dalam menafisrkan ayat ini, “Tidak ada ancaman yang lebih besar dalam semua jenis dosa besar, bahkan tidak pula semisalnya dibandingkan ancaman ini, yaitu pengabaran bahwa balasan orang yang membunuh adalah Jahannam. Maksudnya, cukuplah dosa yang besar ini saja untuk dibalasi pelakunya dengan Jahannam, beserta siksaan yang besar di dalamnya, kerugian yang hina, murkanya Al-Jabbar (Allah), luputnya keberuntungan, dan terjadinya kegagalan, dan kerugian. Kami berlindung kepada Allah dari segala sebab yang menjauhkan dari rahmat-Nya”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 193-194)]
Televisi juga mempropagandakan gaya hidup mewah dan bebas di tengah dunia nyata. Akibatnya, semakin banyak orang yang hidup tanpa arah yang jelas; mencuri, merampok, korupsi dan lain-lain.
Guru Besar telah melatih para penjahat tentang seni terbaru dalam mencuri, menjarah, membuka kunci dan menghapus jejak kejahatan. Jika kita memperhatikan masa lalu, maka kita akan mendapati bahwasanya kejahatan dahulu itu sangat sederhana, sehingga dalam waktu singkat, para petugas mampu menangkap penjahat tersebut. Namun, kini para penjahat telah mempelajari dan mengetahui berbagai cara dan modus kejahatan terbaru. Mereka berguru dari film-film action dan selainnya, yang diajarkan oleh Guru Besar. Oleh karena itu, betapa seringnya kita mendengar terjadinya penjarahan rumah-rumah, pencurian mobil, pengedaran obat terlarang, penculikan gadis-gadis, perkosaan, pembunuhan dan lain sebagainya. Semua berhasil dengan sempurna berkat strategi yang jitu sehingga  mampu melemahkan petugas. Dari mana mereka belajar semua itu? di universitas manakah mereka belajar? siapa yang mengajarkan semua itu kepada mereka? Tentunya dari Guru Besar alias TV.
  •  Televisi dan Keretakan Rumah Tangga Televisi adalah faktor utama tersebarnya problem perceraian dan kegagalan ramah tangga. Televisi telah mengajarkan para wanita untuk berbuat durhaka kepada suaminya. Waktunya lebih banyak dihabiskan di depan TV untuk menunggu sinetron-sinetron favoritnya, kabar-kabar para selebriti, film-film India dan telenovela  kesayangannya. Sehingga banyak tugas dan kewajibannya yang dilalaikan sebagai seorang istri, seperti melayani  dan memperhatikan suami serta anak-anaknya.
    Dia juga melihat para suami yang ditayangkan di sinetron TV adalah orang-orang yang memiliki rumah yang besar, perabot-perabot yang lengkap, mobil yang mewah, dan selalu memberikan istrinya perhiasan yang indah-indah. Kemudian, ia membandingkan suaminya dengan apa yang dilihatnya di TV Dia menginginkan suaminya mampu seperti laki-laki ideal yang ada di televisi. Ketika suaminya tidak mampu berbuat seperti itu, dianggapnya suatu kekurangan dari suaminya dan menganggap bahwa suaminya tidak mampu membahagiakan dirinya. Sehingga, Suaminya pun marah, lalu perselisihan berkecamuk, ikatan perkawinan retak, ikatan keluarga terputus. Akibatnya banyak kasus perceraian diakibatkan sikap istri yang kurang perhatian dan pengertian kepada suaminya Penyebabnya, tiada lain adalah TV. Padahal, hak-hak suami yang wajib dipenuhi oleh istri itu banyak sekali dan sangat agung. Karena demikian agungnya hak tersebut , Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
    مَا يَنْبَغِى لِأََحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ يَنْبَغِى أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍِ لَأَ مَرْتُ امْرَأَتًا أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا كَمَا عَظَّمَ االلهُ عَلَيْهِ مٍنْ حَقِّهِ
    “Tidaklah sepantasnya seorang bersujud kepada yang lain.  Andaikata seorang boleh bersujud kepada orang lain niscaya aku akan perintahkan seorang wanita bersujud kepada suaminya karena Allah menganggap besar hak seorang suami atasnya”. [HR. At-Tirmidzi dalam Al-Kubra (7/291), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (415). Al-Albani men-shohih-kannya dalam Takhrij Al-Misykah Al-Mashobih (3255)]
    Al-Allamah Muhammad Abdur Rahman Al-Mubarakfuriy -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan kenapa sampai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda demikian tadi, “Karena besarnya hak suami atas diri sang istri, dan ketidakmampuan seorang istri mensyukurinya. Dalam hadits ini, terdapat penekanan yang teramat dalam tentang wajibnya seorang istri taat kepada suami, karena sujud tidak halal, kecuali sujud kepada Allah” [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (4/358)]
    Selain itu, seorang akan memandang lawan jenisnya ketika ia menonton TV. Padahal Allah –’Azza wa Jalla-  telah mengharamkan memandang kepada lawan jenis yang bukan mahramnya, karena bahayanya yang begitu besar, dapat mengantarkan kepada sesuatu yang lebih berbahaya yaitu zina.
    p style=”text-align: left;”>Allah –’Azza wa Jalla- berfirman:
    قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ …وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
    “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman supaya mereka menundukkan pandangan mereka… Katakanlah kepada kaum  wanita yang beriman agar menundukkan pandangan mereka”. (QS. An-Nur: 30-31)
    Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasqiy -rahimahullah- berkata dalam Tafsir Ibnu Katsir (3/373), “Ini merupakan perintah dari Allah -Ta’ala- kepada para hamba-Nya yang beriman, agar mereka menundukkan pandangan mereka dari sesuatu yang haram atas mereka. Maka mereka hendaknya tidak memandang, kecuali kepada sesuatu yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka untuk dipandang; dan agar menundukkan pandangannya dari wanita-wanita. Jika kebetulan pandangannya tertuju pada sesuatu yang haram (dipandang), tanpa ada kesengajaan, maka hendaknya ia memalingkan pandangannya dari hal itu dengan cepat “.
    Beliau -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
    يَا عَلِيُّ لاَ تٌتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ اْلأُوْلىَ وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ
    “Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya). Pandangan (pertama) itu boleh buat kamu, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (2149), dan At-Tirmidziy dalam As-Sunan  (2777). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Jilbab Al-Mar'ah (77)]
    Perintah untuk menundukkan pandangan, tidak mungkin bisa dilaksanakan selama barang haram ‘televisi’ ada dirumah kita. Sebab tayangan-tayangan yang ditampilkan, tidak lepas dari perkara haram: mulai dari pameran aurat (sedang aurat wanita, seluruh tubuhnya), ikhtilat (campur baur  laki-laki dan wanita), berkhalwat (berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya), wanita-wanita yang bertabarruj (menampakkan kecantikan), nyanyian dan musik.
    • Televisi dan Penghancuran Aqidah
    Televisi telah menghancurkan aqidah kaum muslimin dengan berbagai  tayangan-tayangan yang merusak dan sarat dengan kesyirikan. Dengan menampilkan kuburan-kuburan para wali di berbagai tempat (daerah), sedang di samping kuburan itu ada orang yang berdoa, shalat, menyembelih, bernadzar, meminta jaminan, meminta bantuan, meminta pertolongan, meminta rezki, mencari keterangan, mencari petunjuk atas orang atau barang yang hilang supaya bisa kembali, atau melakukan ritual-ritual ibadah dan lain sebagainya.
    Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
    لاَ تُصَلُّوْا إِلىَ قَبْرٍ وَلاَ تُصَلُّوْا عَلىَ قَبْرٍ
    “Janganlah engkau shalat menghadap ke kubur, dan jangan pula shalat di atasnya”. [HR. Ath-Thabraniy dalam Al-Kabir (3/145/2). Hadits ini dishohihkan oleh Al-Albaniy dalam Tahdzir As-Sajid (hal. 31)]
    Televisi juga menampilkan kebohongan para tukang sihir, dukun dan peramal. Para dukun itu menampilkan diri seolah-olah sebagai seorang tabib dan kiyai, sehingga mereka memerintahkan orang yang sakit agar menyembelih kambing atau ayam dengan ciri-ciri tertentu; menuliskan untuk para pasiennya sebuah tulisan (mantra-mantra) syirik dan permohonan perlindungan syaithoniyah dalam bentuk bungkusan yang dikalungkan di leher, diletakkan di laci atau di atas pintu. Sebagian lagi menampakkan diri sebagai wali yang memiliki karamah dan hal-hal diluar kebiasaan manusia, seperti masuk ke dalam api, tetapi tidak terbakar; menebas dirinya dengan pedang, namun tidak terluka; atau dilindas mobil, tetapi tidak apa-apa, dan lainnya di antara keanehan, hakekatnya adalah sihir dan perbuatan syaithan yang diperjalankan melalui tangan mereka untuk membuat kerusakan aqidah di antara manusia.
    Pengakuan mereka mengetahui ilmu ghaib dan perkara-perkara ghaib, kesemuanya itu melalui permohonan bantuan syethan-syethan yang mencuri dengar dari langit. Allah -Ta’ala- berfirman:
    هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ . تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ .  يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ
    “Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syethan-syethan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan kebanyakan mereka adalah pendusta”. (QS. Asy-Syuara’ : 221-223).
    Al-Imam Al-Lalika’iy -rahimahullah- berkata, “Mereka itu (para wali syetan) menjadikan syetan-syetan sebagai wali penolong mereka. Mereka telah menjual agamanya dengan imbalan berupa kemampuan-kemampuan luar biasa dan bentuk pertolongan lain yang diberikan syetan-syetan itu kepada mereka”. [Lihat Syarh Ushul hal. 27)
    Syetan mencuri kalimat dari ucapan malaikat kemudian disampaikan ke telinga mereka, dan mereka berbohong dengan kalimat (yang diterimanya itu) sebanyak seratus kali kebohongan di layar kaca lalu para pemirsa mempercayainya, disebabkan oleh satu kalimat (yang benar tersebut) yang didengar oleh syethan dari langit. Apa yang dikatakan tukang sihir, dukun dan peramal, sebenarnya hanyalah dugaan dan kebetulan saja.
    Umumnya, tidak lebih dari dusta karena bisikan syethan. Tidak ada yang terbujuk, kecuali orang yang kurang akal dan agamanya saja. Realita ini merupakan fenomena yang aneh! Aneh, tapi nyata. Orang yang berakal sehat akan bertanya-tanya, mengapa di zaman modern ini, zaman globalisasi, zaman teknologi, dan komunikasi semakin canggih hingga sebagian orang memuja-mujanya setinggi langit, namun khurafat, mistik, dan perdukunan masih lengket, bahkan terkesan semakin lengket dengan kehidupan masyarakat.
    Dalam acara-acara TV banyak kita temukan perkara-perkara sihir. Biasanya ditampilkan dalam bentuk acara yang berbau kemistikan, sepeti “Pemburu Hantu”, “Misteri Gunung Merapi”, “Kera Sakti”, “Gerhana”, “Mariam si Manis Jembatan Ancol”, “Mahkota Mayangkara”, dan masih banyak lagi tayangan lainnya yang ternyata sebagai “Dalang Penghancur Aqidah”. Padahal di dalam kitab-kitab aqidah, para ulama telah banyak membahas tentang bahaya sihir terhadap aqidah. Mereka menyebutkan bahwasanya sihir dapat membatalkan keislaman seseorang sehingga menjadikan dia tidak beraqidah Islam lagi. Kalau hal ini sampai terjadi maka tidak ada lagi harapan kebahagian bagi dirinya. Karena Allah telah menjelaskan di dalam firman-Nya:
    وَلاَ يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
    “Dan tidak akan beruntung tukang sihir dari manapun dia datang”. (QS. Thaha: 69)
    Sumber : http://pesantren-alihsan.org/akibat-ulah-guru-besar.html
  • Sumber Khusyu’ Ketika Sholat


    oleh: Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
    [Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]
    Tuma’ninah (tenang), tanpa tergesa-gesa melakukan gerakan-gerakan sholat adalah perkara amat asasi dalam sholat, sebab orang yang meninggalkannya tak akan mendapatkan buah pahala dari sholatnya
    , tak akan meraih khusyu’, dan malah mendapatkan dosa. Ia mendapatkan dosa karena sholatnya tak sah.
    Perkara tuma’ninah dalam sholat sering dilalaikan oleh banyak orang saat ia melakukan sholat sehingga terkadang ia bagaikan seorang yang berolah raga saja, bahkan laksana ayam yang mematok makanannya. Begitu cepatnya ia bergerak dari rukun sholat ke rukun lainnya. Orang yang seperti ini tak akan mendapatkan sesuatu selain capek dan penat saja!!
    Ada seorang sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman -radhiyallahu anhu- pernah melihat seseorang yang tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya, karena ia tak tuma’ninah. Beliau berkata,
    مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الْفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا
    “Kamu belum sholat!! Andai kau mati, maka engkau akan mati di atas selain fitrah (Islam) yang Allah menciptakan Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- di atasnya”. [HR. Al-Bukhoriy (no. 791)]
    Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini dijadikan dalil tentang wajibnya tuma’ninah dalam rukuk dan sujud, dan bahwa melalaikannya adalah pembatal sholat serta (hadits ini menunjukkan) pengkafiran orang yang meninggalkan sholat, sebab lahiriahnya bahwa Hudzaifah meniadakan keislaman dari orang yang melalaikan sebagian rukun sholat. Jadi, peniadaan keislaman dari orang yang meninggalkan sholat secara total adalah lebih utama”. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (2/275)]
    Hadits ini serupa dengan hadits al-musii’ sholatah (orang yang merusak sholatnya) sebagaimana yang terdapat sebuah hadits dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,

    أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

    “Sesungguhnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah masuk masjid. Lalu masuk pula seorang laki-laki untuk sholat. Setelah itu, ia datang seraya mengucapkan salam kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Beliau pun menjawab salamnya seraya bersabda, “Kembalilah!! Sholat lagi, karena sesungguhnya engkau belum sholat (sebanyak tiga kali). Akhirnya, orang itu berkata, “Demi (Allah) Yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tak mampu melakukan selain itu. Karenanya, ajarilah aku”. Beliau bersabda, “Jika kamu bangkit menuju sholat, makasempurnakanlah sholatmu, lalu menghadaplah ke kiblat. Kemudian bacalah sesuatu yang mudah bagimu berupa (bacaan) al-Qur’an. Kemudian rukuklah sampai engkau tuma’ninah (tenang) dalam posisi rukuk. Kemudian bangkitlah sampai engkau tegak berdiri. Kemudian sujudlah sampai tuma’ninah dalam kondisi sujud. Kemudian angkatlah (kepalamu) sampai kamu tenang dalam keadaan duduk. Kemudian sujudlah sampai tuma’ninah dalam kondisi sujud. Kemudian lakukanlah hal serupa dalam sholatmu seluruhnya”.
    [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 757 & 793), Muslim dalam Shohih-nya (no. 397), Abu Dawud dalam As-Sunan(no. 856), At-Tirmidziy dalam As-Sunan(no. 303), An-Nasa’iy dalam Al-Mujtaba(2/124) dan Ibnu Majah dalamSunan-nya (no.1060)]
    Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya tuma’ninah dan bahwa barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia belum dianggap mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepadanya. Lantaran itu, ia tetap dituntut dalam melakukan perintah (sholat) itu. Renungkanlah perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada orang itu untuk tuma’ninah dalam rukuk dan posisi tegak berdiri dari rukuk. Karena, tak cukup hanya sekedar tuma’ninah dalam rukun bangkit sampai engkau berdiri tegak. Beliau tak mencukupkan hanya menetapkan sholat dengan sekedar bangkit (dari rukuk) sampai ia melakukannya secara sempurna, saat ia tegak berdiri padanya. [Lihat Ash-Sholah wa Hukm Tarikihah (hal. 138-139)]
    Kesalahan seperti ini (yakni tak tuma’ninah dalam posisi bangkit dari rukuk), telah terjerumus ke dalamnya orang-orang punya kedudukan atau dianggap sebagai orang berilmu, khususnya dalam sholat nafilah.
    Al-Imam Abu abdillah Al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata, “Selayaknya bagi seorang manusia untuk memperbaiki sholat fardhu dan nafilah-nya sehingga ia memiliki naflun (tambahan pahala) yang ia akan jumpai sebagai tambahan bagi sholat fardhunya, dan akan mendekatkannya kepada Robb-nya sebagaimana yang difirman oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala-, “Senantiasa hamba-Ku akan mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah (sunnah)sampai Aku mencintainya…”[HR. Al-Bukhoriy]
    Jika terdapat amalan nafilah (tambahan) yang sempurna sholat fardhu dengannya, maka hukumnya dalam sisi makna sama dengan hukum sholat fardhu.Barangsiapa yang tak mampu mengerjakan sholat dengan baik, maka tentunya ia lebih utama tak mampu mengerjakan sholat nafilah dengan baik. Karenanya, tak heran jika sholat nafilah orang-orang sangat kurang dan rusak, karena ringannya sholat itu di sisi mereka, dan peremehan mereka terhadap sholat sampai sholat nafilah itu seakan tidak diperhitungkan lagi!! Sungguh telah disaksikan di alam nyata orang yang diberi isyarat (yakni, punya kedudukan) dan dianggap berilmu, sedang sholat nafilahnya seperti itu, bahkan sholat fardhunya juga. Sebab ia mematok sholatnya seperti patokan ayam, karena ia tidak tahunya tentang hadits. Nah, bagaimana lagi dengan orang-orang bodoh yang tidak berilmu?! Sungguh para ulama berkata, “Tak akan sah rukuk, sujud, berdiri setelah bangkit dari rukuk dan duduk diantara dua sujud sampai ia tegak dalam posisi rukuk, berdiri, sujud dan duduk”. Inilah yang benar menurut atsar (hadits), dipijaki oleh mayoritas ulama dan para peneliti”. [Lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (11/124-125)]

    Para pembaca yang budiman, pencuri-pencuri sholat di zaman ini amat banyak kita saksikan di saat kita menghadiri sholat berjama’ah di masjid-masjid kaum muslimin. Mereka sholat dengan cepat laksana ayam mematok makanannya dengan lincah. Padahal sholat cepat tanpa tuma’ninah seperti ini amat dilarang oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Bahkan beliau mengabarkan kepada kita bahwa itu adalah cara sholatnya kaum munafiqin.
    Alaa’ bin Abdir Rahman mengatakan bahwa ia pernah masuk menemui Anas bin Malik di rumah, di kota Bashroh ketika beliau sudah sholat zhuhur, sedang rumahnya di samping masjid. Tatkala kami masuk menemui beliau, maka beliau berkata, “Apakah kalian telah sholat Ashar?” Kami katakan kepada beliau, “Kami tadi baru usai sholat zhuhur”. Beliau berkata, “Sholat Ashar-lah kalian!!” Lalu kami pun sholat Ashar. Tatkala usai sholat, beliau berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
    تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلاً
    “Itulah sholat orang munafiq; ia duduk menunggu matahari (akan terbenam) sampai jika matahari telah berada diantara dua tanduk setan, maka ia (si munafiq) berdiri (sholat) seraya mematok (mempercepat) sholatnya empat kali sujud, sedang ia tak mengingat Allah di dalamnya, kecuali sedikit”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 622), At-Tirmidziy dalam Al-Jami’ (no. 160) dan An-Nasa’iy dalam Al-Mujtana (1/254)]
    Al-Imam Al-Mubarokfuriy -rahimahullah- berkata dalam menukil ucapan Penulis Al-Arf Asy-Syadziy, “Ini menunjukkan tentang wajibnya menegakkan rukun-rukun sholat, karena syariat telah menganggap sujud yang berjumlah delapan, namun kosong dari duduk (diantara dua sujud) sebagai empat kali sujud”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy Syarh Sunan at-Tirmidziy (1/190)]
    Para pembaca yang budiman, kondisi orang yang mematok sholat sebagaimana yang terlihat pada sebagian orang yang sholat, ia melewati rukun-rukun sholat bagaikan melesatnya anak panah; tidak melebihi ucapan “Allahu Akbar” saat rukuk dan sujud, karena saking cepatnya. Hampir saja sujudnya melampaui rukuknya; rukuknya hampir mendahului bacaannya. Terkadang juga ia menyangka bahwa hanya sekali bertasbih lebih utama dibandingkan tiga kali!!
    Demi Allah, sungguh kami telah mendengar berkali-kali dari orang yang dijadikan panutan di sebagian perkampungan, kami mendengarnya mengucapkan tahmid (sami’allahu liman hamidah) ketika dahinya sudah hampir merapat ke tanah. Kami mendengarnya mengucapkan, “amiin” ketika turun rukuk. Seakan-akan orang ini ada yang mengejarnya dengan tongkat, sedang ia tak tahu dengan perbuatannya seperti orang yang berolok-olok dan bermain dalam sholatnya.
    Konon kabarnya, ada sebuah kisah dari mereka bahwa ia pernah melihat seorang bocah sedang tuma’ninah dalam sholatnya, lalu ia pun memukul bocah itu seraya berkata kepada sang bocah, “Andai engkau diutus oleh sultan dalam suatu tugas, apakah kamu lamban dalam tugasmu seperti lambanmu ini?!”
    Sungguh ini semua adalah sikap mempermainkan sholat, meniadakan sholat dan tipuan dari setan serta menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya saat Allah -Ta’ala- berfirman,
    وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ  [البقرة : 43]
     “Dan Dirikanlah shalat…” (QS. Al-Baqoroh: 43)
    Jadi, Allah memerintahkan kita untuk menegakkan sholat, yaitu melaksanakan sholat secara sempurna berdiri, rukuk, sujud dan dzikirnya. Dengan kata lain, ia melaksanakan rukun-rukun, kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnah sholatnya.

    Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sungguh telah mempersyaratkan keberuntungan dengan adanya khusyu bagi orang yang sholat dalam sholatnya. Barangsiapa yang terluput dari khusyu’, maka ia bukan orang-orang yang beruntung. Nah, tentunya mustahil akan ada khusyu’ dengan adanya ketergesa-gesaan dan cepat. Bahkan tak akan tercapai khusyu’ sama sekali, kecuali disertai tuma’ninah. Setiap kali bertambah tuma’ninahnya, maka khusyu’-nya juga akan bertambah. Setiap kali sedikit khusyu’nya, maka ketergesa-gesaannya akan semakin cepat sampai gerakan tangannya menjadi seperti bermain-main yang tak dibarengi dengan khusyu’ dan tidak fokusnya ia kepada ibadah. [Lihat Akhtho’ Al-Mushollin (hal. 122-123)]

    sumber: http://shirotholmustaqim.wordpress.com/

    Sabtu, 01 Maret 2014

    Aku Biasa-Biasa Saja

    Tahukah anda, apa yang paling dibanggakan orang tua dari anak-anaknya? Boleh jadi adalah kecerdasan scholastic, seperti matematika, bahasa, menggambar (visual), musik (musical), dan olahraga (kinestetik).
    Tetapi, pernahkah kita membanggakan jika anak kita memiliki kecerdasan moral, kecerdasan intrapersonal, atau kecerdasa interpersonal?
    Rasanya jarang, sebab ketiga kecerdasan yang terakhir hampir pasti uncountable, tidak bisa dihitung, dan sayang sekalin tidak ada pontennya (nilainya) di sekolah, karena di sekolah hanya memberikan penilaian kuantitatif.
    Ada sebuah cerita tentang seorang anak, sebut saja namanya Fani (6,5 tahun), kelas I SD. Ia memiliki banyak sekali teman. Dan ia pun tidak bermasalah harus berganti teman duduk di sekolahnya. Ia juga bergaul dengan siapa saja dilingkungan rumahnya. Ada satu hal yang menarik saat ia bercerita tentang teman-temannya.
    "Bu, Ifa pinter sekali lho, Bu...! Pinter Matematika, Bahasa Indonesia, Menggambar....pokoknya pinter sekali....!" katanya santai. Vivi juga pintar sekali menggambar, gambarnya bagus ...sekali! Kalau si Yahya hfalannya banyaaak... sekali!"
    Ya memang fani senang sekali membanggakan teman-temannya. Ketika mendengar celoteh anaknya ibunya tersenyum dan bertanya, " Kalau mbak Fani pinter apa?" Ia menjawab dengan cengiran khasnya," Hehehe...kalau aku, sih, biasa-biasa saja".
    Jawaban itu mungkin akan sangat biasa bagi anda, tetapi ibunya tertegun, karena pada dasarnya fani memang demikian. Ia biasa-biasa saja untuk ukuran prestasi scholastic.
    Tapi coba kita dengarkan apa cerita gurunya, bahwa Fani sering diminta bantuannya untuk membimbing temannya yang sangat lamban mengerjakan tugas sekolah, mendamaikan temannya yang bertengkar.
    Bahkan ketika dua orang adiknya, Farah (4,5 tahun) dan Fadila (2,5 tahun) bertengkar. Fani langsung turun tangan. "Sudah..! sudah, Dek! sama saudara tidak boleh bertengkar, Hayo tadi siap yang mulai?" Adiknya saling tunjuk."Hayo, jujur ...1Jujur itu disayang Allah..! Sekarang salaman ya... saling memaafkan".
    Pun ketika suatu hari ia melihat baju-baju bagus di toko, dengarlah komentarnya!
    "Wah bajunya bagus-bagus ya Bu? Aku sebenarnya pengin, tapi bajuku dirumah masih bagus-bagus, nanti saja kalau sudah jelek dan Ibu sudah punya rezeki, aku minta dibelikan ..."
    Ibunya pun tak kuasa menahan air matanya, subhanallah anak sekecil itu sudah bisa menunda keinginan, sebagai salah satu ciri kecerdasan emosional.
    Saya sebenarnya ingin berbagi cerita tentang ini kepada anda, karena betapa banyak dari kita yang mengabaikan kecerdasan-kecerdasan emosional seperti itu. Padahal kita tahu dalam setiap tes penerimaan pegawai, yang lebih banyak diterima adalah orang yang mempunyai kecerdasan emosional walaupun dari sisi kecerdasan scholastic adalah BIASA-BIASA SAJA.
    Kadang kita merasa rendah diri manakal anak kita tidak mencapai ranking sepuluh besar disekolah. Tetapi herannya, kita tidak rendah diri manakala anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang egois, mau menang sendiri, sombong, suka menipu atau tidak biasa bergaul.
    Maka ketika Fani mengatakan "AKU BIASA-BIASA SAJA", maka saat itu ibunya menjawab "Alhamdulillah, mbak Fani suka menolong teman-teman, tidak sombong, mau bergaul dengan siapa saja. Itu adalah kelebihan mbak Fani, diteruskan dan disyukuri ya..?" Ya... ibunya ingin mensupport dan memberikan reward yang positif bagi Fani. Karena kita tahu anak-anak kita adalah amanah dan suatu saat amanah itu akan diambil dan ditanyakan bagaimana kita menjaga amanah. Sebagaimana doa kita setiap hari agar anak-anak menjadi penyejuk mata dan hati.
    Sudahkah kita mencoba untuk menggali potensi-potensi kecerdasan emosional anak-anak kita? Kalau belum mulailah dari diri kita, saat ini juga.

    http://informatika.stei.itb.ac.id/~rinaldi.munir/Koleksi/Artikel/Aku%20Biasa-biasa%20Saja.htm
    Hidup lebih dari harus sekedar tetap hidup. Masalahnya, bagaimana membuat hidup itu bermakna, memancarkan cahaya gemilang ke masa depan, sekalipun harus mengorbankan hidup itu sendiri. Bila ini sudah tercapai, maka tidak ada bedanya dengan berapa lama hidup itu. (Mushashi)

    Jumat, 21 Februari 2014

    Salman Al Farisi, Teladan Kesederhanaan dalam Dakwah

    Salman Al Farisi, Teladan Kesederhanaan dalam Dakwah






    Suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan, dia berjumpa dengan seorang laki-laki dari negeri Syam yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, sehingga melelahkannya.
    Ketika orang Syam itu melihat laki-laki yang berpenampilan biasa dan tampak dari golongan orang tak punya, ia berpikir hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan imbalan yang pantas sesampainya di tempat tujuan. Orang Syam itu memanggil lelaki tersebut, dan Si lelaki mendekat.
    Orang Syam itu berkata kepadanya, “Tolong bawakan barangku ini.” Maka Si lelaki mengangkat barang yang disuruh oleh orang Syam, dan mereka berdua berjalan bersama-sama.
    Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Si Lelaki berpenampilan biasa itu mengucapkan salam kepada rombongan, mereka berhenti dan menjawab salam, “Kesejahteraan juga untuk walikota.” Orang Syam yang bersama Si lelaki bertanya dalam hatinya, “Juga kepada walikota? Siapa yang mereka maksud?” Keheranannya semakin bertambah ketika beberapa orang dari rombongan bergegas mendekat dan berkata, “Biarkan kami yang membawanya.”
    Barulah orang Syam itu sadar, bahwa kuli panggulnya itu adalah seorang walikota Madain. Orang Syam itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf mengalir dari bibirnya. Dia mendekat hendak mengambil beban yang di bawa Si lelaki suruhannya, tetapi Sang walikota menolak dan berkata, “Tidak, biar kuantar sampai rumahmu.”
    Sepenggal kisah ini adalah cuplikan dari sebagian sirah perjalanan kehidupan seorang sahabat Rasulullah saw yang sangat terkenal di dalam pencariannya terhadap kebenaran. Siapakah walikota yang berpenampilan biasa dan tampak dari golongan orang tak punya tersebut?
    Dialah Salman Al-Farisi seorang sahabat Rasulullah yang rela meninggalkan negerinya dan mengalami perjuangan berat demi mencari kebenaran. Kisah sahabat yang mulia ini di dalam pencariannya terhadap suatu kebenaran sudah tidak asing lagi di telinga para aktivis dakwah, bahkan sering sekali kisahnya ini dijadikan taujih pembangkit semangat untuk para aktivis dakwah di dalam menempuh jalan panjang ini.
    Sahabat yang mulia ini tak kalah zuhudnya dibandingkan sahabat Rasulullah lainnya di dalam menjalani kehidupannya. Karena beliau sadar betul, bagaimana kesederhanaan itu sangat berpengaruh di dalam dakwah ilallah, sehingga hatinya selalu teringat akan pesan Rasulullah kepadanya dan kepada semua sahabat, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil dunia kecuali, sekedar bekal seorang musafir. Ternyata inilah yang telah mengisi hati seorang Salman Al-Farisi, sehingga ia tidak mau mendekati kekayaan dan jabatan.
    Sekalipun ia menerima jabatan sebagai walikota Madain pada saat itu, apakah kehidupannya dan karakternya berubah? Tidak, sama sekali tidak ada yang berubah di dalam kehidupannya dan karakternya. Ia sama seperti yang biasa para sahabat Rasulullah lihat sebagai Salman yang memiliki penampilan sederhana, sesederhana penampilannya sebelum diangkat sebagai walikota.
    Bahkan ia sampai disangka kuli oleh seseorang yang berasal dari Syam, karena melihat Salman berpenampilan biasa dan tampak dari golongan orang tak punya, karenanya orang Syam itu tak segan-segannya menyuruh membawakan barang-barangnya kepada sahabat Rasulullah yang mulia ini, yang ternyata dia adalah seorang walikota. Sahabat yang mulia ini seketika identitasnya sebagai walikota diketahui oleh orang Syam yang menyuruhnya, ia menolak untuk barang yang sudah ia bawakannya di ambil kembali oleh orang Syam tersebut, namun apa yang dikatakan sahabat yang mulia ini kepada orang Syam tersebut, ketika ia mendekat hendak mengambil barang bawaannya yang dibawakan oleh walikota Madain itu? Ia berkata, “Tidak, biar kuantarkan barang bawaanmu sampai pada rumahmu.”
    Betapa mulianya sahabat Rasulullah ini, kesederhanaannya mengalahkan ambisi akan kenikmatan dunia. Lihatlah gamisnya yang pendek, hanya sampai lutut. Padahal saat itu ia orang yang dihormati dan disegani. Gaji yang diterimanya juga tidak sedikit: antara 4.000-6.000 dinar setahun. Namun, semuanya ia bagikan. Tidak sedikit pun ia ambil untuk kepentingan dirinya. Lalu mengapa setelah memegang jabatan itu, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan secara halal?
    Hisyam bin Hisan menyebutkan bahwa Hasan pernah mengatakan bahwa tunjangan Salman sebesar lima ribu dinar setahun. Namun demikian, ketika dia berpidato di hadapan 30 ribu orang, separuh baju luarnya (aba’ah) ia jadikan alas duduk, dan separuhnya lagi untuk menutupi badannya. Tunjangan hidup yang ia terima, ia bagi-bagikan sampai habis, sedangkan untuk nafkah keluarganya dia peroleh dari hasil usahanya sendiri.
    Wahai para pengikut Muhammad SAW.!
    Wahai para aktivis dakwah!
    Wahai para pemimpin muslim!
    Wahai kalian yang mengagungkan kemanusiaan!
    Bukankah Rasulullah mengajarkan kesederhanaan di dalam perjuangan ini?
    Bukankah Sahabat Rasulullah yang mulia ini sudah kita membacanya di dalam sirahnya?
    Bukankah Salman Al-Farisi seorang walikota Madain sudah mencontohkan kesederhanaan di dalam perjuangan dakwah ini?
    Ketika mendengar kehidupan generasi sahabat yang amat bersahaja seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar dan lainnya, sebagian kita menyangka bahwa itu disebabkan karakter hidup di Jazirah Arab saat itu, karakter hidup yang bersahaja. Istighfarlah jika ada berprasangka seperti ini.
    Akan tetapi, sepenggal kisah ini adalah kisah seorang sahabat Rasulullah yang ia adalah seorang putra Persia. Suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan hidup. Dan ia bukan dari golongan miskin. Ia dari golongan kaya. Mengapa dia sekarang menolak kekayaan dan kesenangan, bertahan dalam kehidupan bersahaja, merasa cukup dengan satu dirham untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya? Satu dirham itu pun ia peroleh dari hasil jeri payahnya sendiri.
    Dengarkanlah perkataannya jikalau hati ini masih ragu, “Aku membeli daun kurma seharga satu dirham. Daun itu kubuat keranjang. Kemudian kujual dengan harga tiga dirham. Satu dirham kugunakan untuk modal usaha, satu dirham untuk nafkah keluargaku, dan satu dirham lagi untuk sedekah. Meskipun Khalifah Umar ra. melarangku berbuat demikian, aku tidak mau menghentikannya.”
    Selayaknya kita sebagai aktivis dakwah harus mencontoh dan meneladani kesederhanan para sahabat Rasulullah di dalam perjuangan ini, sebab fitnah itu muncul bisa jadi karena kita berlebih-lebihan di dalam memperjuangkan dakwah ini dan dalam menyikapi nikmat kehidupan dunia yang diberikan Allah untuk kita.
    Rasulullah dan para sahabatnya mencontohkan kesederhaanan dalam menyikapi nikmat kehidupan di dunia agar menjauhkan diri serta menjaga dari fitnah-fitnah yang senantiasa ada di setiap kehidupan para pejuang dakwah di dalam meneggakan panji-panji Islam di seluruh belahan dunia, karena musuh yang kita hadapi sekarang adalah para syaithan yang berwujud manusia yang memiliki sistem, strategi dan teknologi yang kuat dan canggih.
    Ingatlah ketika sahabat yang mulia ini, Salman menjawab pertanyaan Sa’ad bin Abi Waqqash saat ia menjenguk sahabatnya yang mulia ini terbaring di atas tempat tidur, sesaat sebelum ajal menjemputnya, sesaat sebelum jiwa mulianya bertemu dengan Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Penyayang. Saat itu, Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya. Tiba-tiba Salman menangis.
    “Apa yang kamu tangiskan, wahai Abu Abdillah (panggilan Salman)? Padahal saat Rasulullah saw. wafat, beliau ridha kepadamu?”
    Salman menjawab, “Aku menangis bukan karena takut mati atau mengharap kemewahan dunia. Rasulullah saw telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, “Hendaklah bagian kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang musafir.” Padahal harta milikku seperti ini banyaknya.”
    Sa’ad menceritakan, “Aku perhatikan, tidak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan satu baskom. Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, berilah kami nasihat yang akan selalu kami ingat.”
    Dia berkata, “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah ketika kamu ingin sesuatu, ketika kamu memberikan keputusan, dan ketika membagi.”
    “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi karena air itu; di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami pada waktu malam dan siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” (QS. Yunus [10]: 24)
    Wallahu a’lam bishshowwab.


    www.al-hikmah.ac.id.