Salman Al Farisi, Teladan Kesederhanaan dalam Dakwah
Suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan, dia
berjumpa dengan seorang laki-laki dari negeri Syam yang membawa sepikul buah
tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, sehingga melelahkannya.
Ketika orang Syam itu melihat
laki-laki yang berpenampilan biasa dan tampak dari golongan orang tak punya, ia
berpikir hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan imbalan yang
pantas sesampainya di tempat tujuan. Orang Syam itu memanggil lelaki tersebut,
dan Si lelaki mendekat.
Orang Syam itu berkata kepadanya,
“Tolong bawakan barangku ini.” Maka Si lelaki mengangkat barang yang disuruh
oleh orang Syam, dan mereka berdua berjalan bersama-sama.
Di tengah perjalanan mereka
berpapasan dengan satu rombongan. Si Lelaki berpenampilan biasa itu mengucapkan
salam kepada rombongan, mereka berhenti dan menjawab salam, “Kesejahteraan juga
untuk walikota.” Orang Syam yang bersama Si lelaki bertanya dalam hatinya,
“Juga kepada walikota? Siapa yang mereka maksud?” Keheranannya semakin
bertambah ketika beberapa orang dari rombongan bergegas mendekat dan berkata,
“Biarkan kami yang membawanya.”
Barulah orang Syam itu sadar, bahwa
kuli panggulnya itu adalah seorang walikota Madain. Orang Syam itu pun menjadi
gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf mengalir dari bibirnya. Dia
mendekat hendak mengambil beban yang di bawa Si lelaki suruhannya, tetapi Sang
walikota menolak dan berkata, “Tidak, biar kuantar sampai rumahmu.”
Sepenggal kisah ini adalah cuplikan
dari sebagian sirah perjalanan kehidupan seorang sahabat Rasulullah saw yang
sangat terkenal di dalam pencariannya terhadap kebenaran. Siapakah walikota
yang berpenampilan biasa dan tampak dari golongan orang tak punya tersebut?
Dialah Salman Al-Farisi seorang
sahabat Rasulullah yang rela meninggalkan negerinya dan mengalami perjuangan
berat demi mencari kebenaran. Kisah sahabat yang mulia ini di dalam
pencariannya terhadap suatu kebenaran sudah tidak asing lagi di telinga para
aktivis dakwah, bahkan sering sekali kisahnya ini dijadikan taujih pembangkit
semangat untuk para aktivis dakwah di dalam menempuh jalan panjang ini.
Sahabat yang mulia ini tak kalah
zuhudnya dibandingkan sahabat Rasulullah lainnya di dalam menjalani
kehidupannya. Karena beliau sadar betul, bagaimana kesederhanaan itu sangat
berpengaruh di dalam dakwah ilallah, sehingga hatinya selalu teringat akan
pesan Rasulullah kepadanya dan kepada semua sahabat, agar mereka tidak dikuasai
oleh dunia dan tidak mengambil dunia kecuali, sekedar bekal seorang musafir.
Ternyata inilah yang telah mengisi hati seorang Salman Al-Farisi, sehingga ia
tidak mau mendekati kekayaan dan jabatan.
Sekalipun ia menerima jabatan
sebagai walikota Madain pada saat itu, apakah kehidupannya dan karakternya
berubah? Tidak, sama sekali tidak ada yang berubah di dalam kehidupannya dan
karakternya. Ia sama seperti yang biasa para sahabat Rasulullah lihat sebagai
Salman yang memiliki penampilan sederhana, sesederhana penampilannya sebelum
diangkat sebagai walikota.
Bahkan ia sampai disangka kuli oleh
seseorang yang berasal dari Syam, karena melihat Salman berpenampilan biasa dan
tampak dari golongan orang tak punya, karenanya orang Syam itu tak
segan-segannya menyuruh membawakan barang-barangnya kepada sahabat Rasulullah
yang mulia ini, yang ternyata dia adalah seorang walikota. Sahabat yang mulia
ini seketika identitasnya sebagai walikota diketahui oleh orang Syam yang
menyuruhnya, ia menolak untuk barang yang sudah ia bawakannya di ambil kembali
oleh orang Syam tersebut, namun apa yang dikatakan sahabat yang mulia ini
kepada orang Syam tersebut, ketika ia mendekat hendak mengambil barang
bawaannya yang dibawakan oleh walikota Madain itu? Ia berkata, “Tidak, biar
kuantarkan barang bawaanmu sampai pada rumahmu.”
Betapa mulianya sahabat Rasulullah
ini, kesederhanaannya mengalahkan ambisi akan kenikmatan dunia. Lihatlah
gamisnya yang pendek, hanya sampai lutut. Padahal saat itu ia orang yang
dihormati dan disegani. Gaji yang diterimanya juga tidak sedikit: antara
4.000-6.000 dinar setahun. Namun, semuanya ia bagikan. Tidak sedikit pun ia
ambil untuk kepentingan dirinya. Lalu mengapa setelah memegang jabatan itu, ia
tidak mau menerima tunjangan yang diberikan secara halal?
Hisyam bin Hisan menyebutkan bahwa
Hasan pernah mengatakan bahwa tunjangan Salman sebesar lima ribu dinar setahun.
Namun demikian, ketika dia berpidato di hadapan 30 ribu orang, separuh baju
luarnya (aba’ah) ia jadikan alas duduk, dan separuhnya lagi untuk menutupi
badannya. Tunjangan hidup yang ia terima, ia bagi-bagikan sampai habis,
sedangkan untuk nafkah keluarganya dia peroleh dari hasil usahanya sendiri.
Wahai para pengikut Muhammad SAW.!
Wahai para aktivis dakwah!
Wahai para pemimpin muslim!
Wahai kalian yang mengagungkan kemanusiaan!
Bukankah Rasulullah mengajarkan kesederhanaan di dalam perjuangan ini?
Bukankah Sahabat Rasulullah yang mulia ini sudah kita membacanya di dalam
sirahnya?
Bukankah Salman Al-Farisi seorang walikota Madain sudah mencontohkan kesederhanaan
di dalam perjuangan dakwah ini?
Ketika mendengar kehidupan generasi
sahabat yang amat bersahaja seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar dan lainnya,
sebagian kita menyangka bahwa itu disebabkan karakter hidup di Jazirah Arab
saat itu, karakter hidup yang bersahaja. Istighfarlah jika ada berprasangka
seperti ini.
Akan tetapi, sepenggal kisah ini
adalah kisah seorang sahabat Rasulullah yang ia adalah seorang putra Persia.
Suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan hidup. Dan ia bukan
dari golongan miskin. Ia dari golongan kaya. Mengapa dia sekarang menolak
kekayaan dan kesenangan, bertahan dalam kehidupan bersahaja, merasa cukup
dengan satu dirham untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya? Satu dirham
itu pun ia peroleh dari hasil jeri payahnya sendiri.
Dengarkanlah perkataannya jikalau
hati ini masih ragu, “Aku membeli daun kurma seharga satu dirham. Daun itu
kubuat keranjang. Kemudian kujual dengan harga tiga dirham. Satu dirham
kugunakan untuk modal usaha, satu dirham untuk nafkah keluargaku, dan satu
dirham lagi untuk sedekah. Meskipun Khalifah Umar ra. melarangku berbuat
demikian, aku tidak mau menghentikannya.”
Selayaknya kita sebagai aktivis
dakwah harus mencontoh dan meneladani kesederhanan para sahabat Rasulullah di
dalam perjuangan ini, sebab fitnah itu muncul bisa jadi karena kita
berlebih-lebihan di dalam memperjuangkan dakwah ini dan dalam menyikapi nikmat
kehidupan dunia yang diberikan Allah untuk kita.
Rasulullah dan para sahabatnya
mencontohkan kesederhaanan dalam menyikapi nikmat kehidupan di dunia agar
menjauhkan diri serta menjaga dari fitnah-fitnah yang senantiasa ada di setiap
kehidupan para pejuang dakwah di dalam meneggakan panji-panji Islam di seluruh
belahan dunia, karena musuh yang kita hadapi sekarang adalah para syaithan yang
berwujud manusia yang memiliki sistem, strategi dan teknologi yang kuat dan
canggih.
Ingatlah ketika sahabat yang mulia
ini, Salman menjawab pertanyaan Sa’ad bin Abi Waqqash saat ia menjenguk
sahabatnya yang mulia ini terbaring di atas tempat tidur, sesaat sebelum ajal
menjemputnya, sesaat sebelum jiwa mulianya bertemu dengan Tuhan Yang Maha
Tinggi dan Maha Penyayang. Saat itu, Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya.
Tiba-tiba Salman menangis.
“Apa yang kamu tangiskan, wahai Abu
Abdillah (panggilan Salman)? Padahal saat Rasulullah saw. wafat, beliau ridha
kepadamu?”
Salman menjawab, “Aku menangis bukan
karena takut mati atau mengharap kemewahan dunia. Rasulullah saw telah
menyampaikan suatu pesan kepada kita, “Hendaklah bagian kalian dari kekayaan
dunia ini seperti bekal seorang musafir.” Padahal harta milikku seperti ini
banyaknya.”
Sa’ad menceritakan, “Aku perhatikan,
tidak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan satu baskom. Lalu
aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, berilah kami nasihat yang akan
selalu kami ingat.”
Dia berkata, “Wahai Sa’ad, ingatlah
Allah ketika kamu ingin sesuatu, ketika kamu memberikan keputusan, dan ketika
membagi.”
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan
duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu
tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi karena air itu; di antaranya ada
yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah
sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya
mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab
Kami pada waktu malam dan siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana
tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang
yang berpikir.” (QS. Yunus [10]: 24)
Wallahu a’lam bishshowwab.
www.al-hikmah.ac.id.